Bagaimana agar remaja dapat mengelola kecemasan/rasa stress/depresi?

Ide kami berupa program pelatihan untuk calon orang tua maupun yang sudah menjadi orang tua, yaitu bimbingan penanaman karakter dan pengolahan emosi anak secara sehat untuk membentuk ketahanan mental yang kuat agar mereka siap menghadapi tekanan di dunia luar.

T

Teressa Ranavita Bidadari

DKI Jakarta
No online PDF viewer installed

Apa akar dari permasalahan ini? Mengapa remaja, khususnya di Indonesia rentan terkena gangguan depresi, kecemasan, atau stress? Apa saja faktor yang mempengaruhi daya tahan mental seseorang?

Remaja Indonesia rawan mengalami gejala stres atau kecemasan. Hal ini diakibatkan oleh berbagai faktor, dengan salah satu faktor yang berpengaruh dan mendasar adalah karakter remaja itu sendiri yang ditanam sejak dini oleh keluarga. Contoh keterkaitan karakter dengan gejala stress adalah remaja dengan karakter pemarah dan tidak dapat mengontrol emosi akan lebih mudah terbawa emosi dalam mengambil tindakan di bawah tekanan. Karakter yang kuat dan ideal dapat membantu remaja dalam mengolah emosi dan mengambil tindakan bahkan saat berada di bawah tekanan. Hal ini tidak bisa didapatkan secara instan, perlu pembiasaan sejak dini mulai dari lingkup keluarga karena keluarga merupakan sarana pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Maka dari itu, peran orang tua dan keluarga dalam mendidik anak mengenai pengolahan emosi serta pembentuk karakter yang ideal sangat penting untuk mencegah gangguan mental berupa kecemasan dan stress saat anak mulai menginjak usia remaja. Remaja indonesia masih rentan terkena gangguan depresi karena masih sedikit orang tua yang memahami penanaman karakter kuat serta mengajari anak untuk mengolah emosi (misalnya: cara menghadapi amarah dan kekecewaan, latihan mengungkapkan perasaan, dan sebagainya). Selain itu, faktor yang dapat memengaruhi daya tahan mental seseorang adalah faktor internal (karakter dan kebiasaan pengembangan diri) dan eksternal (dunia pendidikan, lingkungan dan pergaulan sekitar)

Adakah hubungan antara kesehatan mental seseorang dengan bagaimana dia berinteraksi dengan masyarakat? Bagaimana kondisi mental mempengaruhi pembentukan paradigma seorang remaja yang kemudian melekat di dalam dirinya?

Tentu saja terdapat hubungan antara kesehatan mental seseorang dengan cara ia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Gangguan kesehatan mental bisa didapat dari trauma atau pengalaman yang menekan dirinya sejak kecil, trauma itu dapat memengaruhi bagaimana ia bertindak dalam masyarakat dan dalam pengambilan keputusan di kehidupannya. Contohnya, saat ada orang yang mengkritik dia, dia bisa menyikapinya dengan baik dan menerima kritikan itu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berbeda dengan orang yang mentalnya kurang sehat, dia akan menghindari kritikan itu dan menutup diri. Kondisi mental yang buruk bisa berpengaruh negatif terhadap cara mereka memandangi diri dan lingkungannya. Cara pandang tersebut bisa memengaruhi dirinya dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku ke depannya. Jika sedari kecil kepercayaan dia sudah dipatahkan oleh orang-orang di sekitarnya, otomatis pandangan dia ke depannya tidak lagi percaya kepada siapapun dan akan selalu merasa curiga dalam hal apapun. Jika hal ini terus berlanjut, pemikiran yang negatif ini akan menjadi kebiasaan yang melekat dan sulit diatasi tanpa bimbingan.

Pilihlah salah satu peran figur ini: sekolah/praktisi/pemerintah. Program/inisiatif apa yang harus dibuat untuk membantu remaja mengatasi permasalahan tersebut? Pendekatan apa yang paling tepat sekaligus mengedukasi? Jelaskan mekanismenya secara rinci.

Kami berperan sebagai lembaga non-profit yang bergerak di bidang kesehatan mental. kami menawarkan solusi berupa program yang fundamental. Nama program kami adalah TaKarIn (Tanam Karakter Indonesia). Nama ini kami ambil karena konsep dasar kami adalah mengatasi gangguan kesehatan mental pada remaja dari akarnya, yaitu melalui penanaman karakter sejak dini dalam keluarga. TaKarIn adalah program pelatihan bagi calon orang tua dan yang sudah memiliki anak berupa bimbingan penanaman karakter dan pengolahan emosi anak. Peserta program dapat mengikuti program ini dengan biaya pendaftaran yang bersifat sukarela dan tidak dipungut biaya bagi kalangan tidak mampu. Program ini berdurasi tiga hari yang mana terlaksana satu kali dalam sebulan untuk tiap kloter pasangan menikah. Setiap kloter bisa menampung hingga 20 pasangan. Kami membatasi kuota tiap kloter agar mengutamakan kenyamanan peserta dan program dapat terlaksana dengan intensif. Pemaparan materi tentang parenting secara umum dilaksanakan pada hari pertama pelatihan, yang diawali dengan latihan meditasi dan pemahaman diri sebagai pasangan atau orang tua. Pada hari kedua, sesi pelatihan terbagi menjadi dua. Pertama, peserta mendalami materi parenting yang fokus pada kesehatan mental anak. Kedua, peserta mempraktikkan sendiri berbagai cara mengungkapkan perasaan secara sehat. Pada hari terakhir, peserta melaksanakan simulasi parenting berupa studi kasus. Hal ini bertujuan agar pasangan lebih memahami penerapan materi parenting dalam kehidupan sehari-hari bersama anak. Setelah simulasi, mentor pelatihan memberi tanggapan terhadap hasil simulasi dan mengevaluasi keseluruhan kegiatan peserta. Dalam mewujudkan program ini, kami pertama mengumpulkan materi parenting dan kesehatan mental dari para ahli di berbagai bidang yang relevan, seperti psikologi dan sosiologi. Selanjutnya, kami menyusun proposal kegiatan secara terperinci dan menarik. Setelah itu, kami mengirimkan proposal tersebut ke calon donatur atau sponsor yang memiliki visi yang sama dengan kami yaitu menjaga kesehatan mental remaja. Berikutnya, kami akan membuat situs web untuk program TaKarIn dan menyebarluaskan informasi program melalui media sosial, seperti Instagram, Twitter, dan Tiktok. Kesimpulannya, program ini ideal karena mudah diimplementasikan dan berdampak besar dalam jangka waktu yang panjang.

Ide lainnya