Apa dampak pembelajaran jarak jauh terhadap pengembangan karakter murid?
Bagi kelompok marjinal di komunitas Sekolah Sungai kami di tepi Sungai Code, Sungai Winongo, dan Sungai Gajah Wong, Yogyakarta, dimana pekerjaan masyarakat pada umumnya adalah penjual, buruh, ibu rumah tangga, satpam, pekerja lepas, tukang ojek, supir, dan pemulung, memfasilitasi lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anak mereka adalah sebuah perjuangan yang berat. Selain kesulitan orang tua untuk membeli fasilitas gadget dan pembelian paket data internet, orang tua juga menghadapi kendala dalam memberikan pengawasan dan bimbingan untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Kesulitan untuk pembelian paket data internet disikapi pemerintah melalui pemberian bantuan kuota belajar, namun permasalahan pendampingan belajar masih belum dapat teratasi. Kenyataannya, tidak semua orang tua memiliki hak istimewa untuk memberikan bantuan belajar, baik dari segi waktu maupun keterampilan. Hal ini telah dibuktikan dengan kesaksian melalui wawancara singkat kami di lapangan. Kesaksian datang dari Lani, siswa kelas 4 SD yang tinggal di tepi Sungai Gajah Wong, “Ibuku sibuk bekerja dan merawat adik perempuanku, dia hampir tidak ada waktu untuk menemaniku belajar. Ayahku juga bekerja sepanjang waktu.” Pernyataan pendukung lainnya datang dari ayah Meisya, siswa kelas 4 SD di Kampung Jetisharjo, di tepi Sungai Code, “Saya tidak bisa mengajar anak saya karena materi sekolah dasar sekarang lebih sulit, berbeda dengan saya tahun lalu. Saya juga bekerja sepanjang hari, jadi hanya ada sedikit waktu untuk membantu putri saya ketika belajar.” Selain itu, guru dari sekolah formal memberikan tugas untuk pembelajaran jarak jauh, tetapi tidak dilengkapi untuk menjelaskan materi pelajaran kepada anak-anak, sehingga bimbingan orang tua diperlukan. Kumpulan masalah tersebut mengindikasikan bahwa akan sulit untuk mendapatkan pembelajaran karakter yang utuh dari Pembelajaran Jarak Jauh ini, terlebih ketika pembelajaran kognitif saja belum maksimal. Di lapangan, guru sekedar menerangkan mata pelajaran yang diampu serta memberikan tugas-tugas saja, tanpa bertanya apakah siswanya sudah berada di tempat yang cocok untuk belajar, padahal tugas seorang guru tidak hanya membangun kognitif siswanya tetapi juga harus dapat membangun dan menanamkan nilai, karakter, dan kepribadian yang baik bagi para siswanya.
Gimana solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi dampak tersebut?
Program Online Learning Assistance (OLA) digagas oleh Project Child Indonesia pada awal Maret 2020 sebagai respon atas situasi yang tidak menentu di tengah pandemi COVID-19. Dengan adanya OLA, diharapkan program ini mampu menjembatani kesenjangan dalam sistem pembelajaran jarak jauh terutama pada anak-anak yang tinggal di komunitas rentan di mana keluarga kurang memiliki akses yang memadai ke alat bantu pembelajaran dan pendampingan belajar tambahan di luar sekolah. OLA berusaha menyediakan bantuan yang tepat untuk memastikan anak-anak dari keluarga berpenghasilan menengah ke bawah memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas seperti anak-anak dari keluarga berpenghasilan menengah ke atas dengan mengimbangi kurangnya pengawasan dan bantuan oleh sekolah dan orang tua, mengakomodasi pengalaman belajar yang menyenangkan untuk mengimbangi kondisi mental mereka, dan mendukung pemahaman materi pembelajaran formal terutama mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, dan Sains yang dilakukan oleh para relawan. Dalam pelaksanaan OLA, Project Child Indonesia menerapkan pendekatan pembelajaran holistik. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa anak-anak secara optimal memiliki keterampilan tidak hanya tentang pendidikan formal tetapi juga yang mendukung perkembangan mental dan emosional mereka. Pembelajaran pada OLA tidak hanya terkait ketiga pelajaran yang sudah dijelaskan di atas tetapi juga tambahan berupa mindfulness movement. Penelitian telah menunjukkan bahwa menerapkan teknik mindfulness seperti pernapasan penuh perhatian dan gerakan sadar dapat secara efektif membantu menghasilkan meningkatkan perhatian, fokus, dan perilaku saat mengerjakan tugas pada anak-anak. Manfaat mindfulness tidak terbatas pada keberhasilan akademis, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan anak secara keseluruhan, dengan peningkatan 25% keterampilan sosial dan emosional dan 10% penurunan perilaku buruk, kecemasan, dan depresi di kelas. Oleh karena itu, penting untuk memperkenalkan latihan mindfulness singkat kepada orang tua dan anak-anak juga menerapkannya dalam proses pembelajaran.