Berdasarkan film dan video yang kamu tonton, ceritakan 3 (tiga) pembelajaran yang terkait dengan nilai-nilai keberagaman/ toleransi/ perdamaian? Kamu bisa berikan contoh dari kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitarmu.
Tiga pembelajaran toleransi : Pertama, permasalahan interaksi sosial disasosiatif dalam kehidupan sehari-hari yang kerap memunculkan pertentangan hingga konflik. Pertentangan dan konflik, menjadi cepat tersulut karena terjadi antar anggota masyarakat yang memiliki latar belakang suku atau agama yang berbeda. Solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengembangkan interaksi sosial asosiatif melalui kerjasama dan saling mengakomodasi. Hal ini penulis alami dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar rumah. Penulis memeluk agama Hindu suku Bali, sementara tetangga sekitar rumah beragama Islam suku Kaili dan Bugis, serta agama Kristen suku Toraja dan Manado. Walaupun berbeda agama dan suku, kehidupan bertetangga terjalin baik dengan saling membantu, bekerja sama, saling memberi satu sama yang lain. Kadang-kadang terjadi perselisihan kecil, tetapi kemudian segera diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Demikian pula di lingkungan sekolah, baik di kelas maupun dalam organisasi siswa di SMPN 2 Palu, semua berinteraksi satu sama lain tanpa memandang perbedaan suku dan agama. Setiap hari Jumat, keseluruhan siswa melaksanakan kegiatan Iman dan Taqwa (Imtaq) dengan beribadah dan belajar agama yang dipandu oleh guru agama masing-masing. Kedua, permasalahan etnosentrisme yaitu menganggap suku sendiri lebih unggul dari suku lainnya. Etnosentrisme kerap menimbulkan kecemburuan, disintegrasi, hingga konflik dalam masyarakat. Etnosentrisme dapat dikikis dengan menerapkan cross cutting affiliation (saling silang budaya). Di SMPN 2 Palu, etnosentrisme ini hampir tidak nampak karena terjadi saling silang budaya. Sebagai contoh, penulis adalah penekun tari tradisional Bali, tetapi dalam ekstrakurikuler tari juga menarikan tarian suku Kaili seperti Tari Mokambu dan Pamonte. Dengan mengenali budaya suku lain, maka etnosentrisme akan berubah menjadi sikap egaliter dan menghargai suku lainnya. Ketiga, fanatisme berlebihan. Fanatisme terhadap seorang tokoh misal dalam pilihan politik menyebabkan terjadinya coercion (paksaan) agar orang lain juga memilih tokoh tersebut. Perbedaan pilihan politik dengan paksaan ini kerap menyulut konflik dalam masyarakat. Di SMPN 2 Palu, pemilihan Ketua dan Sekretaris OSIS dilakukan secara demokrasi. Siswa-siswi yang memilih, berdasarkan pada kemampuan calon dalam memimpin bukan pada karena kesamaan suku maupun agama. Siapapun yang terpilih, maka semua siswa menerima dengan lapang dada. Secara umum, ketiga permasalahan tersebut dapat dicegah dan dieliminir dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui institusi seperti keluarga dan sekolah. Sosiolog Lewis A. Coser menyebutnya sebagai safety valve (katup pengaman), yakni institusi berfungsi menjaga toleransi dan mengikis intoleransi dalam masyarakat. Bukankah taman akan semakin indah ketika ditumbuhi bunga yang beraneka warna? Mari kita berjabat tangan, walaupun berbeda warna kulit, berbeda bentuk rambut, berbeda lisan bibir, berbeda adat istiadat, dan berbeda ucapan doa. Bhineka Tunggal Ika: berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Jayalah Indonesia!